Minggu, 11 Mei 2008

Nasib Pendidikan Autis

Terapi dan Pendidikan Autisme di Indonesia
Siti Mumun Muniroh, S.Psi

Pendahuluan
Memasuki era globalisasi, ketika komunikasi antar manusia di seluruh belahan bumi sudah sedemikian mudahnya, masih ada saja sekelompok manusia yang tersisih. Tersisih karena mereka tidak mampu mengadakan komunikasi dengan orang terdekat sekalipun. Mereka sulit mengekspresikan perasaan dan keinginannya. Mereka juga hidup terkurung dalam dunianya sendiri yang sepi, menunggu uluran tangan orang lain untuk menariknya keluar ke dunia yang lebih bebas. Mereka itulah anak-anak yang mendapat anugerah Tuhan sebuah kelainan yang biasa disebut autisme.
Penyakit Autis atau sindrome autisme sering menjadi perbincangan hangat dikalangan orang tua dan pakar kesehatan anak. Kurangnya informasi yang memadai tentang penyakit ini sering membuat orang tua dicekam rasa takut dan kuatir, terutama jika melihat pertumbuhan anaknya dinilai memiliki tingkah laku aneh. Oleh karena itu kita sebagai orang tua, pendidik, dokter, ahli kesehatan maupun psikolog sekalipun harus memperhatikan betul mengenai gejala, penyebab maupun ciri-ciri dari penyakit ini sehingga tidak menimbulkan kesalahan diagnosis ketika melihat keanehan pada tingkah laku seorang anak. Autisme sendiri sering diartikan sebagai gangguan perkembangan khususnya terjadi pada masa anak-anak yang ditandai dengan ketidakmampuan seseorang dalam mengadakan interaksi sosial dengan lingkungannya dan seolah-olah hidup dalam dunianya sendiri.
Apabila kita perhatikan dari waktu ke waktu jumlah penyandang spektrum autisme tampaknya semakin meningkat pesat. Autis seolah olah mewabah di berbagai belahan dunia. Di beberapa negara terdapat kenaikan angka kejadian penderita yang cukup tajam. Tahun 1980-an, di Amerika dari semula 4 sampai 5 anak yang menderita autis per 10.000 kelahiran naik menjadi 15 sampai 20 per 10.000 kelahiran pada tahun 1990-an. Tahun 2000-an sudah mencapai 60 per 10.000 kelahiran. Belum ada data tentang prevalensi autis di Indonesia, namun mengingat pola hidup kurang sehat di negara majupun sudah merambah kota-kota besar di Indonesia, fenomenanya diyakini mirip dengan negara Amerika. (http:/puterakembara.org/). Seperti tercatat dalam hasil sebuah penelitian, tingkat prevalensi dari autisme ini diperkirakan empat sampai lima per 10.000 anak mengalami gangguan autisme.beberapa penelitian yang menggunakan definisi lebih luas dari autisme memperkirakan 10 sampai 11 dari 10.000 anak mengalami gangguan autisme (Dawson & Castello dalam Safaria, 2005: 1-2)
Dalam makalah ini akan berusaha mengungkap apa sebenarnya sindrome autisme itu baik dari penyebab, gejala, terapi penyembuhan dan pendidikan bagi mereka khususnya para penyandang autis dari masyarakat miskin, karena mereka juga berhak mendapatkan terapi atau penyembuhan yang memadai meskipun tidak memiliki biaya yang mencukupi. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah kesadaran bersama baik dari pihak pemerintah, ahli kesehatan, terapis maupun akademisi bahwasannya mereka (anak-anak autis) sangat membutuhkan uluran tangan kita.

Pembahasan
1. Pengertian Autisme
Istilah Autisme berasal dari kata ”Autos” yang berarti diri sendiri dan ”isme” yang berarti suatu aliran, sehingga dapat diartikan suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya sendiri (http://putrakembara.org/). Autistme adalah suatu gangguan perkembangan yang berat dan kompleks pada anak. Gejalanya sudah tampak sebelum anak mencapai usia tiga tahun. Perkembangan mereka menjadi terganggu terutama yang menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi (Maulana, 2007: 17) Istilah autisme juga disebut autisme infantil (early infantile autism) karena hasil penelitian yang ada semua dilakukan terhadap anak kecil. Dalam tahun empat puluhan istilah ini memperoleh arti yang ilmiah. Di Nijmegen, Belanda penelitian dilakukan oleh Frye di Paedologisch Institut mulai tahun 1938, di Amerika oleh Menner pada tahun 1942, dan di Wina oleh Asperger pada tahun 1943 (Haditono dkk, 2002: 376)
Autisme pertama kali ditemukan oleh Kenner pada tahun 1943, dia mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan yang tertunda, ecolia, mutism, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain yang repetitif dan stereotifik,rute ingatan kuat, dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya (Safaria, 2005: 1 ).
Senada dengan itu autisme merupakan gangguan perkembangan pervasif (menyeluruh dan meresap dalam) pada anak yang ditandai dengan adanya gangguan dan keterlambatan dalam bidang kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Secara medis Autisme merupakan gangguan perkembangan yang luas dan berat yang terjadi pada susunan syaraf pusat yang berakibat terganggunya fungsi otak. Akibat kelainan ini penyandang Autis dapat jauh tertinggal dalam perkembangannya dibandingkan anak normal seusianya, bahkan tidak mustahil apabila tidak tertangani secara dini penyandang akan menjadi abnormal selama kehidupannya.
Berdasarkan waktu munculnya gangguan, autisme dapat dibedakan menjadi autisme sejak bayi dan autisme regresif. Pada autisme yang terjadi sejak bayi, anak sudah menunjukkan perbedaan-perbedaan dibandingkan dengan anak nonautistik sejak ia bayi, sedangkan autisme regresif ditandai dengan kemunduran kembali (nakita, februari 2002).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa autisme adalah sebuah gangguan perkembangan yang terjadi pada masa anak yang ditandai dengan adanya keterlambatan dalam bidang kogniitif, bahasa, perilaku, komunikasi dan interaksi sosial. Seorang anak dengan gangguan autis seolah-olah memiliki dunianya sendiri dan hanya tertarik dengan dunianya tersebut
2. Tanda-tanda dan Gejala –gejala Autisme
Melakukan diagnosis gangguan autisme tidak memerlukan pemeriksaan yang canggih-canggih seperti brain-mapping, CT-Scan, MRI, dan lain sebagainya. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut hanya dilakukan apabila ada indikasi, misalnya bila anak itu kejang, atau mengidap epilepsi.
Organnisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merumuskan suatu kriteria yang harus terpenuhi untuk dapat melaksanakan diagnosis autisme, Rumusan ini dipakai di seluruh dunia, dan dikenal dengan sebutan ICD-10 (International Classification of Diseases) 1993. Rumusan diagnostik lain yang juga digunakan diseluruh dunia untuk menjadi panduan diagnosis adalah disebut DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual)1994, yang dibuat oleh grup psikiatri dari Amerika, isi ICD-10 maupun DSM IV sebenarnya sama (Maulana, 2007: 39)
Untuk mempermudah pengertian, berikut sedikit pembahasan mengenai DSM IV : Untuk hasil diagnosa, diperlukan total 6 gejala (atau lebih) dari no.(1), (2), dan (3). Gejala-gejala yang tercantum dalam diagnosa tersebut adalah sebagai berikut :
1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik. Minimal harus ada dua dari gejala-gejala berikut : Tidak mampu menjalin interaksi sosial yang cukup memadai; kontak mata sangat kurang,ekspresi muka kurang hidup, gerak-gerik kurang tertuju. Tidak bisa main dengan teman sebaya, tidak ada empati, kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional yang timbal balik.
2. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi. Minimal harus ada satu dari gejala-gejala berikut : Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali tidak berkembang, anak tidak berusaha untuk berkomunikasi secara non-verbal. Bila anak bisa bicara, maka bicaranya tidak dipakai untuk berkomunikasi. Sering menggunakan bahasa yang anehdan diulang-ulang.cara bermain kurang variatif, kurang imajinatif dan kurang dapat meniru.
3. Adanya suatu pola yang dipertahankan dan diulang-ulang dalam perilaku, minat, dan kegiatan.minimal harus ada satu dari gejala-gejala berikut : mempertahankan satu minat atau lebih dengan cara yang khas dan berlebihan. Terpaku pada suatu kegiatan yang ritualistik atau rutinitas yang tidak ada gunanya. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan diulang-ulang. Seringkali sangat terpukau pada bagian-bagian benda. (http://www.angelfire.com/mt/matrixs/psikologi.htm#Mengenal%20Autisme)
Autisme merupakan sebuah gangguan perkembangan yang mempengaruhi cara seorang anak dalam memproses informasi dari panca indera mereka. Anak-anak yang menderita autisme mengalami kesulitan ketika harus menuliskan ide-idenya ke dalam bentuk tulisan. Bagi anak-anak yang menderita gangguan belajar, informasi-informasi yang datang kepadanya seakan-akan datang dalam waktu yang bersamaan, mereka mengalami kesulitan untuk menyaring semua sensor warna, cahaya, gerakan, suara, penciuman dan perasaan. Beberapa anak yang menderita autis mengalami masalah dengan perubahan yang terjadi di sekitarnya; mereka akan terganggu apabila harus memakai baju baru atau ruang kelasnya ditata ulang letaknya karena mereka anggap sebagai sesuatu yang tetap (Le Fanu, 2006: 320)
Selain hal-hal di atas, anak yang mengalami gangguan autis juga menunjukkan kegagalan membina hubungan interpersonal yang ditandai dengan kurangnya respons terhadap orang-orang atau anak-anak disekitarnya.
3. Faktor – faktor penyebab Autisme
Sepuluh tahun yang lalu, penyebab autisme masih merupakan misteri. Kini kemajuan teknologi kedokteran telah berhasil menyingkap penyebabnya meskipun sangat sulit untuk menentukan penyebab pastinya karena sindrome autisme ini memiliki banyak penyebab (multy factor).
Kasus kejadian autisme yang meningkat tajam hampir di seluruh negara termasuk Indonesia, hal ini memaksa peneliti dan para ahli bekerja keras mengungkapnya terutama mencari faktor apa saja yang menjadi penyebabnya sehingga bisa diadakan deteksi dini. Meskipun masih terjadi perdebatan mengenai faktor penyebab timbulnya gejala autis beberapa ahli menyepakati bahwa ada banyak kemungkinan penyebab autisme. Seperti gangguan perkembangan lainnya, autisme dipandang sebagai gangguan yang memiliki banyak sebab (multifaktor), sekaligus penyebabnya tidak sama dari satu kasus ke kasus yang lainnya, padahal penyebab-penyebab tersebut mungkin saja tidak berdiri sendiri melainkan berinteraksi sekaligus (nakita, pebruari 2002)
Beberapa hal yang dicurigai berpotensi untuk menyebabkan autis diantaranya :
1. Faktor genetik. Beberapa teori terakhir mengatakan bahwa faktor genetika memegang peranan penting pada terjadinya autistik. Bayi kembar satu telur akan mengalami gangguan autistik yang mirip dengan saudara kembarnya. Selain itu juga ditemukan beberapa anak dalam satu keluarga atau dalam satu keluarga besar mengalami gangguan yang sama. Meskipun pada anak yang memiliki gen autis belum tentu gejala-gejalanya muncul sebagai perilaku.
2. Faktor yang kedua adalah pengaruh virus yang masuk ke tubuh anak pada usia pranatal seperti TORCH (Toksoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herves) sebab virus yang masuk itu akan menggangu pertumbuhan sel-sel otak yang sedang terbentuk. Sel-sel otak si janin menjadi kurang jumlahnya, sehingga lipatan-lipatan otakpun lebih jarang (nakita, Februari 2002).
3. Vaksin yang mengandung Thimerosal. Thimerosal adalah senyawa merkuri organik yang dikenal sebagai sodium etilmerkuri thiosalisilat, yang mengandung 49,6 % merkuri dan berfungsi sebagai zat pengawet yang digunakan diberbagai vaksin. Memang hal ini masih menjadi kontroversi bahwa ada kemungkinan hubungan antara imunisasi dengan autis tetapi banyak orang tua yang menolak untuk mengimunisasi anaknya karena mendapatkan informasi bahwa beberapa jenis imunisasi khususnya kandungan Thimerosal dapat mengakibatkan autis (http:// alergianak.bravehost.com).
4. Makanan. Berdasarkan hasil penelitian Dr.Feingold dan kolega-koleganya berbagai zat kimia yang ada dalam produk makanan modern seperti zat pengawet, pewarna dan lain-lain dicurigai menjadi penyebab dari autisme pada beberapa kasus.
5. Radiasi pada janin bayi. Sebuah riset dalam skala besar di Swedia menunjukkan bahwa bayi yang terkena gelombang ultrasonik berlebihan akan cenderung menjadi kidal.dengan makin banyaknya radiasi di sekitr kita, ada kemungkinan juga berperan menyebabkan autis.
6. Folic Acid. Zat ini biasa diberikan kepada wanita hamil untuk mencegah cacat fisik pada janin, dan hasilnya memang cukup nyata, tingkat cacat pada janin menurun sampai sebesar 30 %. Namun dilain pihak tingkat autisme menjadi meningkat.
7. Televisi. Semakin maju suatu negara, biasanya interaksi antara anak-anak dengan orang tua semakin berkurang karena berbagai hal. Sebagai kompensasinya, seringkali Televisi digunakan sebagai penghibur anak. Ternyata ada kemungkinan bahwa televisi bisa menjadi penyebab autisme pada anak.
8. Sekolah lebih awal. Faktor penyebab yang satu ini memang agak mengejutkan, namun ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa menyekolahkan anak lebih awal (preschool) dapat memicu reaksi autisme. Diperkirakan, bayi yang memiliki bakat autisme sebetulnya bisa sembuh atau membaik dengan berada dalam lingkupan orang tuanya. Namun karena justru dipindahkan ke lingkungan asing yang berbeda misalnya sekolah, maka beberapa anak jadi mengalami schok dan bakat autismenya menjadi muncul dengan sangat jelas (http://harry.sufehmi.com/archives).
4. Terapi penyembuhan Autis
Seiring dengan meningkatnya jumlah kasus autis, kian bervariasi pula cara pendekatan yang dilakukan untuk menanggulanginya. Ada banyak terapi yang bisa diterapkan, semua bertujuan membantu penyandang autis ”mengejar” ketertinggalannya. Di bawah ini akan dibahas beberapa jenis metode terapi penanggulangan autisme yang pada umumnya dilakukan di Indonesia.
1). Terapi Biomedikasi
Terapi ini menggunakan bantuan obat-obatan untuk mengontrol autisme. Dasar pemikirannya, gangguan dalam tubuh akan memunculkan gangguan perilaku sehingga apabila gangguan dalam tubuh dapat diatasi gangguan perilaku yang ditampilkannya pun akan berkurang. Terapi biomedikasi dikembangkan dari pengetahuan dan penelitian seputar neuropsikologi, yakni pengaruh susunan syaraf pada munculnya perilaku tertentu.
Terapi biomedik dikembangkan oleh kelompok dokter yang tergabung dalam DAN (Defeat Autism Now). Banyak dari para perintisnya mempunyai anak autis. Mereka sangat gigih melakukan riset dan menemukan bahwa gejala-gejala ini diperparah oleh adanya gangguan metabolisme yang akan berdampak pada gangguan fungsi otak. Oleh karena itu, anak-anak ini diperiksa secara intensif darah, urin, feses, dan rambut. Semua hal abnormal yang ditemukan dibereskan, sehingga otak menjadi bersih dari gangguan. Terrnyata lebih banyak anak mengalami kemajuan bila mendapatkan terapi yang komprehensif, yaitu terapi dari luar dan dari dalam tubuh sendiri (biomedis).
2). Applied Behavioral Analysis (ABA)
ABA adalah jenis terapi yang telah lama dipakai, telah dilakukan penelitian dan didesain khusus untuk anak dengan autisme. Sistem yang dipakai adalah memberi pelatihan khusus pada anak dengan memberikan positive reinforcement (hadiah/pujian). Jenis terapi ini bisa diukur kemajuannya. Saat ini terapi inilah yang paling banyak dipakai di Indonesia .
3). Terapi Wicara
Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa. Biasanya hal inilah yang paling menonjol, banyak pula individu autis yang non-verbal atau kemampuan bicaranya sangat kurang. Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu untuk memakai bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain. Dalam hal ini terapi wicara dan berbahasa akan sangat menolong.


4). Terapi Okupasi
Hampir semua anak autis mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus. Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pensil dengan cara yang benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan ke mulutnya, dan lain sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakan otot-otot halusnya dengan benar.
5). Terapi Fisik
Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak diantara individu autis mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya. Kadang-kadang tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi sensorik akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya.
6). Terapi Sosial
Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autis adalah dalam bidang komunikasi dan interaksi. Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam keterampilan berkomunikasi 2 arah, membuat teman dan main bersama di tempat bermain. Seorang terapis sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman-teman sebaya dan mengajari cara-caranya.
7). Terapi Bermain
Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autis membutuhkan pertolongan dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi dan interaksi sosial. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam hal ini dengan teknik-teknik tertentu
8). Terapi Perilaku.
Anak autis seringkali merasa frustrasi. Teman-temannya seringkali tidak memahami mereka, mereka merasa sulit mengekspresikan kebutuhannya. Mereka banyak yang hipersensitif terhadap suara, cahaya dan sentuhan. Tak heran bila mereka sering mengamuk. Seorang terapis perilaku terlatih untuk mencari latar belakang dari perilaku negatif tersebut dan mencari solusinya dengan merekomendasikan perubahan lingkungan dan rutin anak tersebut untuk memperbaiki perilakunya.

9). Terapi Perkembangan
Floortime, Son-rise dan RDI (Relationship Developmental Intervention) dianggap sebagai terapi perkembangan. Artinya anak dipelajari minatnya, kekuatannya dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional dan intelektualnya. Terapi perkembangan berbeda dengan terapi perilaku seperti ABA, yang lebih mengajarkan ketrampilan yang lebih spesifik.
10). Terapi Visual
Individu autis lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual thinkers). Hal inilah yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar komunikasi melalui gambar-gambar, misalnya dengan metode PECS (Picture Exchange Communication System). Beberapa video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan ketrampilan komunikasi.
5. Pendidikan khusus bagi penyandang autisme di Indonesia
Pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasiolan. Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani. Kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan tersebut maka setiap warga negara memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan.
Berbicara persoalan pendidikan di Indonesia sepertinya tidak pernah ada habisnya, mulai dari kurikulum yang sering berubah, kualitas pendidikan yang masih rendah sampai persoalan anggaran pendidikan yang belum memihak kepada masyarakat tidak mampu. Termasuk bagian dari persoalan pendidikan di Indonesia yang lain adalah pendidikan bagi mereka yang berkebutuhan khusus (special needs) seperti autisme.
Badan pusat statistik mencatat saat ini sekitar 1,5 juta anak Indonesia yang mengalami kelainan perkembangan diantaranya seperti autisme. Namun karena terbatasnya sarana pendidikan luar biasa, baru sekitar 66.000 anak yang bisa mengenyam pendidikan (H.U. kompas, 07 November 2007). Ketimpangan ini mengindikasikan bahwa pemerintah belum secara serius menggarap pendidikan murah bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus dari kalangan tidak mampu, karena boleh jadi dari sekitar 1,5 juta anak itu terdiri dari anak berkebutuhan khusus yang miskin.
Kalau kita cermati biaya pendidikan bagi mereka yang menyandang autisme di Indonesia sangat mahal bahkan melangit. Banyak dari orang tua yang memiliki anak autis merasa kebingungan dengan kondisi pendidikan anak-anaknya. Realitas seperti ini mengindikasikan bahwa memiliki anak yang berkebutuhan khusus memang harus memiliki uang yang banyak atau kaya. Lantas, bagaimana nasib anak autis dari kalangan tidak mampu ?
Di dalam UUD 1945, secara tersurat dinyatakan bahwa setiap anak berhak atas pendidikan dan sesuai dengan deklarasi Salamanca 1994 dan UU Sistem Pendidikan Nasional, anak berkelainan khusus harus mendapatkan pendidikan setara dengan anak-anak lainnya. Namun realitas berbicara lain, anggaran subsidi dari pemerintah untuk pendidikan anak autis tidak pernah ada, padahal kalau kita mengacu UUD 1945, anak autis dan berkebutuhan khusus (special needs) lainnya juga adalah seorang anak yang berhak memperoleh pendidikan. Jika kita mencoba melihat lebih dalam secara eksistensial dan psikologis mereka juga berhak mendapat layanan pendidikan dari para ahli. Ketika sebuah keluarga miskin memiliki anak autis, karena orientasi pendidikan bagi mereka sangat mahal bisa jadi hal ini menyebabkan beban psikologis dan menambah persoalan kian rumit. Selain itu ditambah dengan wawasan keluarga tentang gejala autisme pada anak di Indonesia masih sangat minim maka dapat dipastikan jika anak autis dari kalangan tidak mampu terlantar begitu saja. Mereka akan tumbuh dan berkembangan dalam rentang masa hidupnya tanpa diberikan pendidikan yang layak dan seimbang sehingga dimasa depan dapat dipastikan jika eksistensinya akan tergerus oleh arus kehidupan.
Wajah pendidikan di Indonesia sepertinya masih memerlukan banyak perbaikan terutama pendidikan bagi anak-anak penyandang autis. Perhatian khusus dari pihak pemerintah sangat dibutuhkan baik berupa kebijakan yang memihak atau payung hukum, anggaran yang layak, dokter ahli, lembaga penelitian, obat-obatan, alat terapi, klinik, terapis, dan pusat terapi yang murah dan mudah dijangkau oleh masyarakat.

Penutup
Autisme adalah kelainan yang bisa menimpa siapa saja tanpa memandang perbedaan status sosial, pendidikan, golongan, dan bangsa. Dari sekian jumlah penyandang autis tersebut di atas mungkin hanya sebagian saja yang sudah tertangani atau menjalani proses terapi sebagian lagi mengalami kesulitan terutama karena mahalnya biaya yang harus dikeluarkan untuk sebuah upaya penyembuhan dan apabila dibandingkan dengan negara lain proses penanganan masalah anak-anak autis di Indonesia boleh dibilang masih kurang memadai. Belum ada perhatian khusus seperti tersedianya payung hukum, anggaran yang layak, Wajar bila banyak keluarga anak-anak berkebutuhan khusus ini terutama dari kalangan dhuafa (miskin) semakin dibuat bingung dan putus asa. Banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menangani autisme di Indonesia, misalnya menyediakan payung hukum dan anggaran yang memadai untuk menyediakan dokter ahli, lembaga penelitian, obat-obatan, alat terapi, klinik terapis dan pusat terapi yang murah. Sosialisasi dan gerakan penyadaran bagi masyasarakat sangat diperlukan supaya masyarakat semakin peduli pada anak-anak autis dan mendukungnya untuk hidup normal.















DAFTAR PUSTAKA

(http://www.angelfire.com/mt/matrixs/psikologi.htm#Mengenal%20Autisme)
(http://alergianak.bravehost.com)
Haditono dkk, 2002. Psikologi Perkembangan : Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
(http://harry.sufehmi.com/archives)
Harian Umum kompas, 07 November 2007
Le Fanu, James, 2006. Deteksi Dini Masalah-masalah Psikologi Anak. Yogyakarta : Think
Maulana, mirza, 2007. Anak Autis : Mendidik Anak Autis dan gangguan mental lain menuju anak cerdas dan sehat. Yogyakarta : Kelompok penerbit Ar-ruzz media
(http:/puterakembara.org/).
Safaria, T, 2005. Autisme : Pemahaman Baru Untuk Hidup Bermakna bagi Orang Tua. Yogyakarta : Graha Ilmu
Tabloid nakita, edisi februari 2002

Met Hari jadi "NAURA" cayank..


Naura adalah gadis kecil yang loecu, dia adalah inspirasi kami dalam setiap langkah dan karya. hari kamis(8-5'08) kemaren critane gadis kecil kami berulang tahun yang pertama,tapi bunda ma ayah mohon maaf banget karena ga bisa merayakan seharian bersama ade' karena hari tu bunda ma ayah harus bertugas memantau ujian negara di SMP 11. bunda sama ayah hanya mampu berdoa semoga ade' kelak bisa menjadi orang yang bermanfaat bagi agama, nusa bangsa dan negara.
tapi akhirnya ayah punya ide brilian buat kejutan UT nya naura, hari minggu kemaren kita bagi bagi hadiah buat anak-anak kampung disekitar kami, respon mereka sueneeeng banget ada yang jingkrak jingkrak, teriak horrre, tersipu malu bahkan ada yg senyam senyum doank...
akhirnya melalui perayaan UT nya ade NAURA kita juga bisa lebih dekat dengan tetangga and sekaligus melatih naura tuk bisa memiliki sikap prososial and memperhatikan orang-orang yang tinggal disekitarnya...
HAPPY BIRTH DAY Naura, bunda ma Ayah sayanng ade'...

Jumat, 09 Mei 2008

Akhirnya muncul juga euy....

alhamdulillah....dengan haah..heeeh..hoooh..akhirnya muncul juga blog ku, setelah kesana kemari cari info and klak klik klak klik nyoba bikin blog... moga blog ni bisa bermanfaat and sebagai sarana mengekspresikan diri melalui menulis. buat temen and temin yang mo kasih komentar dipersilahkan and makacih pisan..
met berkarya buat semuanya...